AGENDA KEGIATAN
DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA
04 Februari 2025 oleh admin
dpd.go.id, Permasalahan perkotaan merupakan isu kompleks dan multidimesional yang timbul antara lain dari proses urbanisasi yang pesat, pertumbuhan penduduk, keterbatasan infrastruktur dan fasum, pengangguran, standar hidup, kemacetan, hingga ke isu kemiskinan serta kerusakan lingkungan. Dalam isu urbanisasi misalnya, angka statistik menunjukkan pada tahun 2020 penduduk Indonesia yang tinggal diperkotaan mencapai angka 56,7% dan pada tahun 2045 diproyeksikan akan menyentuh angka 70%. Perubahan ini disatu sisi membawa peluang ekonomi dan bonus demografi tetapi di sisi lain menimbulkan berbagai dampak dari masyarakat perkotaan. Oleh sebab itu, salah satu solusi dari permasalahan ini adalah dengan menginisiasikan regulasi khusus berupa undang-undang perkotaan.
Komite I DPD RI, sebagai inisiator RUU Perkotaan, memulai prakarsa ini dengan melakukan kunjungan kerja ke Medan Provinsi Sumatera Utara untuk menginventarisasi lebih lanjut isu-isu terkait perkotaan (03/02). Delegasi Komite I yang dipimpin oleh Wakil Ketua I Carrel Simon Petrus Suebu, diterima langsung oleh Pj. Gubernur Sumatera Utara di Kantor Gubernuran. Kegiatan ini dihadiri pula oleh Walikota Medan, Senator Penrad Siagian, Irman Gusman, Agustin Teras Narang, Jialyka Maharani, Ismet Abdullah, Fritz Wakasu, Sudirman Haji Uma, Sopater Sam, Lamek Dowansiba, TGH Ibnu Halil, Sultan Hidayat M. Sjah, Ade Yuliasih, Achmad Azran, Muhammad Mursyid, Ian Ali Baal, Muh. Hidayatollah, Ismeth Abdullah, dan Maria Goreti.
Dalam sambutannya, Wakil Ketua I Karel Simon Petrus menyampaikan bahwa urbanisasi yang cukup masif terjadi saat ini menciptakan berbagai dampak pada masyarakat perkotaan. Peningkatan urbanisasi antara lain diakibatkan oleh reklasifikasi desa menjadi perkotaan. Proses industrialisasi juga memunculkan aglomerasi kota baru. Untuk itu, perlu ada manajemen perkotaan yang lebih baik serta membangun kapasitas pemerintah daerah dalam merencanakan kota yang lebih baik. Selanjutnya, Senator asal Papua ini menambahkan, perkembangan perkotaan di Indonesia terus berlangsung dari yang bercirikan tradisional sampai kepada pusat ekonomi modern dan berefek kepada munculnya ketimpangan sosial, minimnya infrastruktur dan layanan dasar. Keadaan ini diperburuk lagi oleh transportasi umum yang belum memadai, tingkat kriminal dan kejahatan sosial, serta masalah kesehatan mental seperti stres dan kecemaasan. Ketersediaan regulasi yang komprehensif menjadi faktor penting bagi penyelesaian masalah perkotaan dalam hal ini yaitu Undang-Undang Perkotaan yang dapat mengintegrasikan pengelolaan perkotaan secara holistik, adaptif dan modern.
Sementara itu, Pj. Gubenur Sumatera Utara Agus Fathoni, menyampaikan bahwa Provinsi Sumatera utara merupakan provinsi terluas ke-8 di Indonesia dan menyimpan banyak potensi. Sumatera Utara menjadi provinsi yang memberikan kontribusi besar baik di bidang politik, sosial dan ekonomi. Namun demikian, memang harus diakui, terdapat permasalahan terkait pertumbuhan perkotaan yang tidak terkendali dan berefek pada terbentuknya tata ruang yang tidak teratur, peningkatan aktivitas industri dan transportasi, masalah banjir dan drainase serta tingginya backlog rumah sebagai akibat dari keterbatasan lahan yang berdampak pada tidak terjangkaunya harga rumah oleh masyarakat yang berpenghasilan rendah.
Untuk itu, lanjut Fathoni, pihaknya meminta dukungan DPD RI agar dapat turut memperjuangkan percepatan pembangunan rumah bersubsidi bagi masyarakat yang berpenghasilan rendah, terpenuhinya transportasi massal, pengelolaan sampah yang memadai dan dukungan infrastruktur untuk pengelolaan investasi.
“Medan adalah kota terbesar ketiga di Indonesia, masalahnya banyak, beban perkotaannya juga semakin berat. Banyak faktor-faktor penentu untuk keberhasilan penanganannya”, katanya. Pertama, semua permasalahan perkotaan tentu saja tidak bisa diselesaikan sendirian oleh kota tersebut, melainkan harus dilakukan secara bersama-sama antara pemerintah pusat, provinsi dan kab/kota sekitarnya”. Kedua, tidak semua kota memiliki anggaran yang cukup dan ini perlu menjadi atensi penganggaran oleh pusat, bahwa besarnya dana transfer perlu memperhatikan perkembangan tiap-tiap kota. Ketiga, perlu ada kerjasama dengan daerah sekitar secara konkrit dan jelas. Misalnya dalam persoalan banjir, bisa saja banjir terjadi akibat banjir kiriman dari daerah sekitar. Dalam hal ini, penyelesaiannya tidak mungkin hanya di kota yang terkena banjir tetapi juga harus melibatkan daerah yang mengirim banjir. Keempat, perlu digalakkan pelibatan pihak swasta untuk pembangunan kota, misal perumahan dan pembangunan kawasan terpadu. Peran pemerintah sangat penting untuk bisa mengatur, mengkoordinasikan swasta, perusahaan lainnya di luar kota sekitar. Kelima, saat ini, menurut aturan yang ada bantuan CSR hanya mengalir ke daerah tempat korporasi tersebut menjalankan kegiatan usahanya saja. Padahal, sangat mungkin permasalahan yang terjadi justru di luar dari wilayah CSR itu dan daerah tersebut tidak terjangkau oleh bantuan CSR. Itulah sebabnya, ketentuan CSR ini harus direformulasikan kembali, bahwa bantuan CSR tidak harus selalu didistribusikan kepada daerah tempat perusahaan tersebut beroperasi, tetapi juga dapat menjangkau daerah disekitarnya apabila memang dirasakan perlu untuk mendapatkan bantuan.
“Selain itu, forum-forum CSR yang ada saat ini perlu direvitalisasi kembali peranannya, khususnya terkait dengan fungsi dan anggarannya”. “Bagus sekali forum semacam ini dan perlu diatur ke dalam undang-undang untuk ikut berperan dalam menangani permasalahan perkotaan sehingga memiliki landasan kuat” imbuh Fathoni.
Senator yang hadir juga ikut memberikan perspektifnya. Agustin Teras Narang misalnya, menegaskan kembali maksud dan tujuan kedatangan Komite I ke Sumatera Utara. Teras Narang mengatakan, “Kami sedang menyusun RUU Perkotaan, untuk itu harus menempuh suatu mekanisme sebagai persiapan kami melengkapi naskah akademik, yaitu mendapatkan masukan-masukan. Setelah kami mengikuti perkembangan. Sumatera Utara memiliki salah satu kota besar di Indonesia, dipilih karena kami anggap akan dapat memberikan masukan yang konstruktif”. Kemudian Teras Narang melanjutkan, “kami menginisiasikan RUU Perkotaan karena melihat terjadinya perkembangan perkotaan yang luar biasa. Yang paling dikhawatirkan adalah semakin besarnya kesenjangan antara kota dengan kabupaten, sebagai efek dari perpindahan masyarakat dari desa ke kota. Dalam UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (UU Pemda), pengaturan terkait permasalahan tersebut jauh dari memadai. “Apalagi dalam UU Pemda tidak jelas juga dimana titik berat otonomi apakah pada pada kab/kota atau provinsi”, pungkasnya.
Senada dengan Teras Narang, Senator Penrad Siagian juga mengatakan, “terkait RUU Perkotaan inisiatif DPD RI ini, kami sangat berkepentingan mengisi DIM masalah perkotaan dari masukan-masukan yang didapat hari ini”. “Oleh karena itu, dalam kesempatan ini kami juga mengundang beberapa ornop terkait seperti ornop pemerhati bidang lingkungan, anak, perempuan dan disabilitas”. “Kehadiran mereka diharapkan dapat memberikan masukan positif sehingga diharapkan melalui UU Perkotaan kelak dapat tercipta kota yang layanan publiknya ramah disabilitas, ramah anak, ramah perempuan, tata ruang kota yang baik” , tutup Penrad.
Senator yang lain, Irman Gusman juga turut memberikan komentarnya. Menurut Irman, “Kota Medan yang berada di bagian Barat Indonesia merupakan salah satu gerbang utama Indonesia, sehingga menjadi perhatian kami dalam masalah perkotaan ini. Mengingat pertumbuhan provinsi kabupaten dan kota semakin cepat, Medan bisa menjadi kota megapolitan yang mengarah kepada hub Indonesia. Oleh sebab itu, harus ditata dengan baik, karena kita tidak mau terjadi kesenjangan-kesenjangan dan problem lainnya seperti masalah lingkungan, persampahan dan sebagainya.
Sementara Senator asal Aceh Sudirman Haji Uma menambahkan, bahwa meningkatnya urbanisasi ternyata tidak diikuti oleh proses administrasi yang tertib, sehingga masyarakat yang pindah ke kota cenderung tidak tervalidasi dalam pelayanan kesehatan dan bantuan sosial. Akibatnya, yaitu bertambahnya masyarakat miskin di kota. Hal ini kita harus pikirkan, apa yang semestinya dirumuskan dalam RUU perkotaan sehingga dapat menjadi penyelesaian yang komprehensif untuk memayungi kepentingan masyarakat luas.
Terakhir, Senator asal Provinsi Banten Ade Yuliasih memberikan informasi bahwa di Banten saat ini sudah ada forum CSR dan diatur dalam Perda. Forum CSR ini berada di bawah gubernur, dan forum inilah yang membina penyelenggaran CSR yang ada. Melalui forum ini, bantuan CSR dihimpun dan dapat dialokasikan ke daerah-daerah sekitar banten yang memerlukan. Dari persoalan CSR, kemudian Senator Ade bergeser membahas terkait dengan anggaran untuk daerah. Menurutnya, “support anggaran juga seharusnya lebih besar untuk daerah yang menjadi ibu kota provinsi, karena tentu saja ibu kota otomatis menjadi etalase dari provinsi. Di Banten yang ibukotanya Serang misalnya, justru terjadi kesenjangan kota tetangganya yaitu Tangerang Selatan. Justru daerah Tangerang Selatan yang lebih maju dari serang yang notabene adalah Ibukota Provinsi Banten.
Walikota Medan yang sekaligus juga Gubenur terpilih Sumatera Utara, Bobby Nasution, turut hadir dan menyampaikan bahwa kemiskinan di daerah perkotaan agak lebih tinggi daripada pedesaan, oleh karena itu pengentasan kemiskinan perlu dilakukan melalui berbagai upaya. Salah satunya adalah memangkas pengeluaran masyarakat setiap bulannya dalam membeli kebutuhan pangan. Bobby meneruskan, “Medan bukanlah kota penghasil pangan, sehingga kontribusi pertanian hanya satu persen saja”. “Oleh karena itu, dengan produktivitas bahan pangan yang rendah, Kota Medan sangat mengandalkan kepastian dan kelancaran pasokan pangan dari daerah sekitar. Apabila pasokan pangan terhambat, maka harga akan melambung tinggi dan dampaknya adalah meningkatnya pengeluaran masyarakat”. “Inilah yang harus diatasi”, katanya.
Untuk itu, yang harus dilakukan di Kota Medan adalah penguatan kota aglomerasi yang sejauh ini belum efektif. Ke depan aglomerasi ini harius difungsikan secara optimal, agar berbagai permasalahan bisa diselesaikan melalui kerjasama dalam kerangka aglomerasi ini, seperti pangan, banjir dan sebagainya. Berikutnya, adalah persoalan ruang terbuka hijau (RTH) diperkotaan, kewajiban RTH seluas 20% menurut undang-undang masih belum dapat tercapai di Kota Medan. Bobby menggagas, bagaimana kalau RTH 20% itu dapat ditempatkan dalam kerangka Kota Aglomerasi. “Jadi, angka 20% mencakup seluruh daerah yang tergabung dalam aglomerasi itu”, tegasnya. Dengan demikian, pemerintah daerah setempat dapat membeli area untuk RTH tidak harus di area Kota Medan tetapi bisa juga disekitaran daerah aglomerasi. Terakhir, tambah Bobby, “yang tak kalah pentingnya adalah persoalan penampungan Pengungsi rohingya. Harusnya penempatan pengungsi jangan ditaruh pada daerah yang padat penduduk, kalau bisa penempatannya dapat dipusatkan di wilayah sepi”. “Hal ini harus segera diselesaikan karena sudah mulai terjadi ada gesekan antara penduduk lokal dan pengungsi”.
Dari unsur Polda Sumut, Ramses Tampubolon, juga diberikan kesempatan untuk menyampaikan situasi terkini keamanan Medan. Menurutnya, Medan merupakan salah satu kota yang cukup padat, sehingga rentan terjadi banjir sebagai dampak dari penataan kota khususnya penataan perumahan yang kurang baik. Sewaktu Pilkada Kota Medan 2024 lalu, terjadi bencana banjir. Akibatnya, kepolisian di samping mengamankan pilkada juga ikut mengamankan masyarakat yang terkena bencana. Oleh karena itu, penataan kota ini perlu menjadi perhatian bersama khususnya dalam hal mitigasi bencana seperti banjir. Dari segi keamanan, gangguan kamtibmas di Kota Medan memang cukup besar, dimana penyebab utamanya adalah penggunaan narkoba. Tidak kurang dari satu juta warga masyarakat yang terlibat narkoba. Upaya yang dilakukan sejauh ini adalah dengan membuat patroli bersama TNI untuk memberantas narkoba.
Perwakilan Ornop yang hadir dalam acara ini diantaranya Ketua Forum Partisipasi Publik untuk Kesejahteraan Anak, Badriah, yang menyoroti tentang UU Perkotaan ramah anak. Menurutnya, perkembangan perkotaan yang berdampak anak-anak. Oleh karena itu dalam RUU Perkotaan muaranya harus dapat mempromosikan, melindungi dan menghargai hak anak-anak. “Selain itu, Ornop sebagai mitra pemerintah harus dilibatkan secara aktif dalam berbagai program yang mengarah kepada perlindungan anak dan perempuan”, pungkasnya. Sementara dari Ornop Lingkar Rumah Rakyat Pemerhati sosial, menekankan bahwa permasalahan urbanisasi terjadi karena di desa mereka tidak punya harapan hidup, akibat berlarut-larutnya konflik tanah yang tidak kunjung selesai. Dampaknya, anak-anak muda desa nekad merantau ke kota dengan tanpa memiliki skill. Inilah yang memunculkan masalah diperkotaan. “Oleh sebab itu, agar tidak terjadi urbanisasi maka persoalan di desa harus diselesaikan. Berikan pengharapan hidup, tanah yang berkonflik harus diselesaikan”, imbuhnya.
Kegiatan Kunker Komite I DPD RI dalam rangka inventarisasi masalah RUU Perkotaan dilaksanakan pada hari Senin, 03 Februari 2025, di Kantor Pemerintah Provinsi Sumatera Utara . Acara dipimpin oleh Wakil Ketua I Komite I DPD RI Carrel Simon Petrus bersama-sama dengan PJ Gubernur Sumatera Utara Agus Fatoni, dan Anggota DPD RI dari Dapil Sumatera Utara Pendeta Penrad Siagian. Dalam acara ini diundang pula oleh beberapa stakeholders terkait seperti Walikota Medan, Forkompimda, organisasi perangkat daerah terkait, perwakilan Polda Sumut, perwakilan Kodam I Bukit Barisan, akademisi pemerhati perkotaan, Ornop Disabilitas, Ornop Pemerhati anak, Ornop pemerharti lingkungan dan Ornop pemerhati Disabilitas. Acara dimulai pukul 10:30 WIB dan selesai pada pukul 12:30 WIB.
AGENDA KEGIATAN
DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA
Sosial Media
Ikuti Official Akun Sosial Media
Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia
TEMUKAN KAMI
© Official website Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia 2025